Nasional

MEMAHAMI ASAS LEGALITAS : PENGGUNAAN DALAM HUKUM PIDANA NASIONAL SERI II

Spread the love

Oleh : Garda Bazani Al-Gauri
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

Foto : Garda Bazani Al-Gauri

MALANG, LintasRakyat-NTB.com – Sebagaimana yang telah dijelaskana pada review Seri : I mengenai pemahaman terhadap asas legalitas, pada review Seri II ini akan dijelaskan mengenai penggunaan asas legalitas dalam hukum pidana nasional dalam buku yang sama karya Prof. Dr. Eddy Omar Sharief Hiariej terbitan Erlangga 2009 dengan ketebalan 93 hlm.

Pada Seri I telah dijlsakan mengenai asas legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat 1 KUHP yang menyatakan seseorang tidak dapat dipidana apabila tidak ada aturan yang mengatur sebelumnya. Kemudian mengenai penggunaan asas legalitas menurut hukum pidana nasional Indonesia sendiri mengacu pada ketentuan Pasal 1 ayat 2 KUHP.

Sebelum menguraikan ketentuan Pasal 1 Ayat 2 KUHP alangkah lebih baik terlebih dahulu melakukan perbandingan pengaturan mengenai penggunaan asas legalitas diberbagai negara baik negara yang menganut hukuk Eropa Contenental maupun Anglo Saxion bahkan Anglo America.

Pertama, Pasal 4 Code Penal Prancis tidak ada pelanggaran, delik, kejahatan yang dapat dipinana sebelum aturan itu diadakan terlebih dahulu. Kedua, sementara di Inggris mengacu pada pemikiran Francis Bacon dengan adegium yang tersohor yakni moneat lex, piusquam feria dengan makna bahwa sebelum merealisasikan ancama dalam undang-undang perlu adanya peringatan terlebih dahulu. Ketiga, Konstitusi Amerika 1776 Pasal 8 menyatakan tidak ada seorang pun yang dapat dipidana  sebelum delik tersebut diterapkan secara legal.

Berdasarkan perbandingan beberapa konstitusi diatas rupanya pemberlakukan terhadap asas legalitas tidak hanya pada harus adanya undang-undang atau peraturan sebelum terjadinya perbuatan pidana, namun juga apabila terjadinya perubahan peraturan perundang-undangan pidana.

Mengacu pada akhir paragraf kedua dan awal paragraf ketiga diatas telah disinggung mengenai Pasal 1 Ayat 2 KUHP yang berbunyi : jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam undang-undang pidana, dipakai yang paling ringan bagi terdakwa.
Berdasarkan ketentun pasal diatas yakni perubahan perundang-undangan (verandering in de wetgeving), dan untuk menjawab ini perlu diuraikan secara lanjut pemaknaan dari perubahan.

Makna perubahan undang-undang (verandering in de wetgeving) apabila mengacu pada ajaran perubahan undang-undnang dalam hukum pidana ditemukan tiga ajaran yakni ajaran formil (formale leer), kemudian ajaran materiil terbatas (beperkte meteriele leer), dan yang terakhir adalah ajaran materiil tidak terbatas (onbepekte materiele leer).

Pertama, ajaran formil (formale leer). ajaran ini dipelopori oleh Simon dimana dalam pandangan Simon perubahan yang dimaksudkan itu adalah perubahan pada rdaksi undang-undang. Kedua, ajaran materiil terbatas (beperkte meteriele leer).

Dipelopori oleh Van Geuns menurut ajaran ini perubahan yang dimaksud adalah perubahan pada keyakinan hukum para pembuat undang-undang itu sendiri.
Ketiga, ajaran materiil tidak terbatas (onbepekte materiele leer). Menurut ajaran ini bahwa perubahan itu tidak hanya mengenai perubahan keyakinan para pembuat undang-undang namun juga dimaknai pada perubahan dalam keadaan kerana waktu.

Atas penafsiran perubahan-perubahan diatas Utrecht menyoroti ajaran materiil tidak terbatas (onbepekte materiele leer) dimana menurut pandangan Utrecht dari ajaran materiil tidak terbatas ini  perlunya dilakukan analogi antara perubahan karena waktu dan perluasaan waktu delik.

Namun pada ajaran materiil tidak terbatas diatas terdapat hal-hal yang tidak bia diterapkan sebagaimana pendangan Jonkers mengenai penerapan hukum darurat dimana menurutnya bahwa ajaran materiiel tidak terbatas tidak dibatasi waktu tertentu, namun pada pembuatan undang-undang darurat akan dibatasi waktu tertentu yakni seteah keadaan darurat itu selesai maka dengan sendirinya undang-undang darurat itu tidak berlaku lagi.

Pada prinsipnya bahwa terlepas dari beberapa ajaran diatas, penggunaan hukum pidana atau penggunaan pidana nasional di Indonesia khususnya mengenai perubahan undang-undang setelah perbuatan pidana dilakukan maka akan dipakai aturan atau ancaman atau hukuman yang paling ringan bagi terdakwa.