Dompu, NTB-LIintasrakyat-ntb.com,- Ketua Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Kabupaten Dompu, Dimas Satria Pratama mengaku, bakal melaporkan secara kelembagaan dua institusi Lembaga Penegakan Hukum di Kabupaten Dompu yakni, Kejaksaan Negeri (Kejari) dan Pengadilan Negeri (PN) Dompu ke Mahkamah Agung RI dan Mahkamah Yudisial, karena dinilai sudah berkonspirasi dalam sidang putusan terdakwa kasus pelecehan seksual terhadap anak dibawah umur, yang terjadi pada salah satu pondok pesantren di Kecamatan Manggelewa pada 12 September 2024 lalu.
Putusan vonis bebas terhadap terdakwa tersebut kini berbuntut panjang, pasalnya, pihak keluarga korban tidak tinggal diam untuk mencari arus balik perlawanan guna mendapatkan keadilan, agar terdakwa mendapatkan hukuman setimpal sesuai perbuatannya.
Pada putusan perkara itu, Ketua LMND Dompu memberikan cacatan merah buat PN Dompu yang memberikan mandat terhadap Jaksa Penuntut Umum (JPU), sebagai pengacara Negara untuk memperjuangkan hak keadilan bagi korban pelecehan seksual, namun mereka dinilai gagal sehingga terdakwa pelecehan seksual bisa bebas dari jeratan hukuman di Pengadilan Negeri Kabupaten Dompu.
BACA JUGA
Buntut Panjang Vonis Bebas Terdakwa Pelecehan Seksual, LMND Bakal Laporkan PN dan Kejari Dompu
P3R Kembali Turun ke Jalan, Minta Keadilan Atas Vonis Bebas Terdakwa Pelecehan Seksual
Miris, Terdakwa Pelecehan Seksual Anak Dibawah Umur Bebas dari Vonis PN Dompu
“Proses persidangan dilakukan sebanyak 15 kali, masa pihak keluarga hanya dilibatkan cuma satu kali. Menurut kami hal ini patut diduga ada konspirasi yang dilakukan dua lembaga ini. Sekarang kami sedang menyusun bahan laporan untuk melaporkan dua lembaga ini ke Mahkamah Agung RI dan Mahkamah Yudisial” Ujarnya.
Seperti yang diberitakan media ini sebenarnya bahwa, dalam putusan sidang, hakim memberikan vonis bebas terhadap terdakwa karena alasan kekurangan alat bukti dari korban, padahal dari keterangan pihak keluarga korban melalui pernyataan Abi Proletariat, jika mereka sudah memenuhi semua alat bukti itu seperti, hasil visum dari RSUD dan keterangan saksi-saksi sebagai alat bukti pendukung.
“Alat buktinya sudak lengkap, pakai logika saja, kalau seandainya dari awal kasus ini kekurangan alat bukti, tidak mungkin kasusnya bisa naik sampai ke persidangan” Ucapnya.
Dikisahkan, jika peristiwa pelecehan itu terjadi pada Kamis 12 September 2024. Kejadian itu berlangsung di salah satu pondok pesantren di Kecamatan Manggelewa. Digadang-gadang ada hubungan emosional yang erat antara pelaku pecahan dengan pemilik ponpes tersebut, dan hal ini sedang diupayakan untuk dikonfirmasi oleh media ini.
( Bustanul LR)